LANGKAH RAJA JAWA MENUNTUT ISTANA |
Penulis: | Arwan Tuti Artha |
Memahami Sabda Pandhita Ratu
''Buat apa sebuahTahta dan menjadi Raja apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat''
(Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 7 Maret 1969)
Tidak banyak yang tahu kalau keputusan Sultan Hamengku Buwono X bakal maju menjadi calon presiden (capres) pada pilpres 2009 bukan semata-mata atas keinginan ''nafsu'' politiknya semata. Lewat pertemuan akbar dengan rakyatnya atau pisowanan ageng pada 28 Oktober 2008, bertepatan Hari Sumpah Pemuda, Sultan dengan lantang menegaskan, ''Dengan memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan niat yang tulus memenuhi panggilan pada Ibu Pertiwi, dengan ini saya menyatakan siap maju menjadi calon presiden 2009.''
Sejak itu, dan hingga hari ini, peta politik Tanah Air berubah drastis dan kian hari kian memanas. Bagaimana tidak, sebagian kalangan sebelumnya tidak begitu memperhitungkan Sultan bakal berani dan ''nekat'' maju menjadi capres, sebab ia sendiri sedang mengurusi rakyat Jogja di singgasana keratonnya. Sebagian lain berpendapat, wacana Sultan akan maju ke bursa pencalonan presiden sesungguhnya sudah tercium pada saat dirinya menyatakan tidak lagi bersedia menjadi gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) pada 2007.
Dari sana, muncullah spekulasi di balik sikap Sultan dalam memperlakukan kekuasaan dan berpolitik. Pertama, dengan tidak menolak menjadi gubernur pada periode berikutnya, selain karena alasan telah menjabat dua kali periode, Sultan seolah hendak memberikan pelajaran demokrasi kepada rakyat Jogja dan masyarakat luas pada umumnya. Padahal, oleh pemerintah pusat, Jogja dilabeli ''daerah istimewa'' yang tidak mempersoalkan manakala masyarakat setempat menghendaki Sultan sebagai raja sekaligus gubernur.
Kedua, ada anggapan bahwa majunya Sultan ke bursa capres merupakan kritik praksisnya terhadap pemerintahan pascareformasi, yang tak juga berhasil menyejahterakan rakyat. Realitas kemiskinan, pengganguran, konflik antarindividu maupun kelompok, dan lain-lain, mengetuk sekaligus membuka hati Sultan untuk ikut andil secara langsung mengurusi rakyat Indonesia. Pemerintahan saat ini, menurut penilaian Sultan, gagal menjalankan amanah rakyat sehingga berada di titik nadir kemelaratan.
Ketiga, deklarasi Sultan yang menyatakan siap berlaga dalam kompetisi capres 2009 adalah bentuk penyaluran hak politiknya sebagai warga negara, walau risiko yang ditanggung amatlah besar. Sultan rela meninggalkan tahta kerajaannya demi --apa yang ia yakini-- kepentingan rakyat. Bahkan, Sultan ikhlas mencopot gelar wong agung-nya (seperti) seratus tahun lalu, jika memang harus luntur dengan sendirinya lantaran ia terjun ke dunia politik.
Pada pijakan ketiga poin itulah, buku ini berbicara sangat kompleks menyangkut seluk-beluk kehidupan dan perjuangan Sultan menuju gerbang istana negara. Arwan Tuti Artha, penulisnya, mengangkat persoalan ke-Sultan-an lewat perspektif budaya Jawa (baca: Kejawen), semacam ''ilmu batin''. Perspektif model ini, tampaknya sangat baik dan bagus untuk mengetahui tujuan yang sebenarnya dari apa yang dilakukan Sultan dalam tindak-laku perbuatan maupun ucapannya. Hal itu jelas jauh berbeda manakala strategi analisis yang digunakan dengan pendekatan akademis yang cenderung kaku dan kering dari realitas yang senyatanya.
Arwan tiada henti selalu mengingatkan bahwa segala tindak-tanduk dan ucapan Sultan adalah cerminan kawula (rakyat) untuk gusti (raja). Seorang raja, karena menjadi pusat kekuasaan, maka rakyat hanya akan mendengar apa yang disabdakan, baik itu perintah, larangan atau pernyataan. Oleh sebab itu, di kerajaan Jawa tak ada hukum, kecuali kata-kata keramat raja yang dikenal sebagai sabda pandhita ratu. Apa yang sudah diucapkan seorang raja merupakan keputusan final yang tidak bisa ditarik kembali. Keputusan final seorang raja itu ora wolak-walik sepisan mungkasi. Artinya, sekali tidak perlu diulangi karena sudah melalui pertimbangan panjang, cermat dengan penuh kesabaran (hlm. 81).
Apalagi, apa yang dikatakan seorang raja itu ibarat sabda, memiliki kekuatan magis dan kekuatan mistis. Artinya, kata-kata seorang raja bukan semata-mata milik raja saja, melainkan kata-kata yang sudah disempurnakan dengan kekuatan kosmik dan sudah meresap ke dalam perasaan dan pikiran raja bersangkutan. Boleh jadi, apa yang bakal terjadi nanti, sebenarnya telah diperhitungkan matang-matang oleh Sultan.
Lantas, apakah ada jaminan Sultan benar-benar bisa menjadi presiden RI berikutnya? Apakah ia akan dicalonkan dari partai besar yang sampai saat ini masih menaunginya? Buku ini tidak berbicara kemungkinan-kemungkinan politis itu. Yang amat ditekankan dalam buku setebal 174 ini adalah niat tulus Sultan untuk memperbaiki bangsa. Keputusan itu bukan merupakan manuver politik, tetapi sesuai dengan panggilan hati dan jiwanya. Sultan tidak akan main-main dengan ucapannya, bahkan dalam mengurus negeri ini. Itulah yang dia ucapkan, ''Sekali lagi saya ingin mengabdi, bukan merecoki negeri" (hlm. 111).
Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi niat Sultan untuk maju sebagai capres. Ini adalah konsekuensi logis dari sabda pandhita ratu. Tidak heran Sultan terlihat ''menghindar'' ketika ada kabar bahwa dirinya akan dilamar menjadi cawapres mendampingi capres Megawati yang diusung PDI Perjuangan baru-baru ini. Sultan masih memegang teguh sabda pandhita ratu itu, sebagai capres bukan cawapres. Tapi entah di kemudian hari...
Sultan percaya bahwa dirinya saat ini sedang ditunggu-tunggu masyarakat luas, terutama masyarakat Jawa untuk memimpin bangsa ini. Sebab, dalam tradisi Jawa, untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera, diyakini ada satria pinilih yang tampil. Dialah orang yang sebelum waktunya keluar masih disimpan atau dipingit. Orang Jawa selalu berharap hadirnya satria piningit untuk memegang tampuk pimpinan. Mungkinkah? Kita lihat saja nanti. Sebentar lagi.
Sejak itu, dan hingga hari ini, peta politik Tanah Air berubah drastis dan kian hari kian memanas. Bagaimana tidak, sebagian kalangan sebelumnya tidak begitu memperhitungkan Sultan bakal berani dan ''nekat'' maju menjadi capres, sebab ia sendiri sedang mengurusi rakyat Jogja di singgasana keratonnya. Sebagian lain berpendapat, wacana Sultan akan maju ke bursa pencalonan presiden sesungguhnya sudah tercium pada saat dirinya menyatakan tidak lagi bersedia menjadi gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) pada 2007.
Dari sana, muncullah spekulasi di balik sikap Sultan dalam memperlakukan kekuasaan dan berpolitik. Pertama, dengan tidak menolak menjadi gubernur pada periode berikutnya, selain karena alasan telah menjabat dua kali periode, Sultan seolah hendak memberikan pelajaran demokrasi kepada rakyat Jogja dan masyarakat luas pada umumnya. Padahal, oleh pemerintah pusat, Jogja dilabeli ''daerah istimewa'' yang tidak mempersoalkan manakala masyarakat setempat menghendaki Sultan sebagai raja sekaligus gubernur.
Kedua, ada anggapan bahwa majunya Sultan ke bursa capres merupakan kritik praksisnya terhadap pemerintahan pascareformasi, yang tak juga berhasil menyejahterakan rakyat. Realitas kemiskinan, pengganguran, konflik antarindividu maupun kelompok, dan lain-lain, mengetuk sekaligus membuka hati Sultan untuk ikut andil secara langsung mengurusi rakyat Indonesia. Pemerintahan saat ini, menurut penilaian Sultan, gagal menjalankan amanah rakyat sehingga berada di titik nadir kemelaratan.
Ketiga, deklarasi Sultan yang menyatakan siap berlaga dalam kompetisi capres 2009 adalah bentuk penyaluran hak politiknya sebagai warga negara, walau risiko yang ditanggung amatlah besar. Sultan rela meninggalkan tahta kerajaannya demi --apa yang ia yakini-- kepentingan rakyat. Bahkan, Sultan ikhlas mencopot gelar wong agung-nya (seperti) seratus tahun lalu, jika memang harus luntur dengan sendirinya lantaran ia terjun ke dunia politik.
Pada pijakan ketiga poin itulah, buku ini berbicara sangat kompleks menyangkut seluk-beluk kehidupan dan perjuangan Sultan menuju gerbang istana negara. Arwan Tuti Artha, penulisnya, mengangkat persoalan ke-Sultan-an lewat perspektif budaya Jawa (baca: Kejawen), semacam ''ilmu batin''. Perspektif model ini, tampaknya sangat baik dan bagus untuk mengetahui tujuan yang sebenarnya dari apa yang dilakukan Sultan dalam tindak-laku perbuatan maupun ucapannya. Hal itu jelas jauh berbeda manakala strategi analisis yang digunakan dengan pendekatan akademis yang cenderung kaku dan kering dari realitas yang senyatanya.
Arwan tiada henti selalu mengingatkan bahwa segala tindak-tanduk dan ucapan Sultan adalah cerminan kawula (rakyat) untuk gusti (raja). Seorang raja, karena menjadi pusat kekuasaan, maka rakyat hanya akan mendengar apa yang disabdakan, baik itu perintah, larangan atau pernyataan. Oleh sebab itu, di kerajaan Jawa tak ada hukum, kecuali kata-kata keramat raja yang dikenal sebagai sabda pandhita ratu. Apa yang sudah diucapkan seorang raja merupakan keputusan final yang tidak bisa ditarik kembali. Keputusan final seorang raja itu ora wolak-walik sepisan mungkasi. Artinya, sekali tidak perlu diulangi karena sudah melalui pertimbangan panjang, cermat dengan penuh kesabaran (hlm. 81).
Apalagi, apa yang dikatakan seorang raja itu ibarat sabda, memiliki kekuatan magis dan kekuatan mistis. Artinya, kata-kata seorang raja bukan semata-mata milik raja saja, melainkan kata-kata yang sudah disempurnakan dengan kekuatan kosmik dan sudah meresap ke dalam perasaan dan pikiran raja bersangkutan. Boleh jadi, apa yang bakal terjadi nanti, sebenarnya telah diperhitungkan matang-matang oleh Sultan.
Lantas, apakah ada jaminan Sultan benar-benar bisa menjadi presiden RI berikutnya? Apakah ia akan dicalonkan dari partai besar yang sampai saat ini masih menaunginya? Buku ini tidak berbicara kemungkinan-kemungkinan politis itu. Yang amat ditekankan dalam buku setebal 174 ini adalah niat tulus Sultan untuk memperbaiki bangsa. Keputusan itu bukan merupakan manuver politik, tetapi sesuai dengan panggilan hati dan jiwanya. Sultan tidak akan main-main dengan ucapannya, bahkan dalam mengurus negeri ini. Itulah yang dia ucapkan, ''Sekali lagi saya ingin mengabdi, bukan merecoki negeri" (hlm. 111).
Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi niat Sultan untuk maju sebagai capres. Ini adalah konsekuensi logis dari sabda pandhita ratu. Tidak heran Sultan terlihat ''menghindar'' ketika ada kabar bahwa dirinya akan dilamar menjadi cawapres mendampingi capres Megawati yang diusung PDI Perjuangan baru-baru ini. Sultan masih memegang teguh sabda pandhita ratu itu, sebagai capres bukan cawapres. Tapi entah di kemudian hari...
Sultan percaya bahwa dirinya saat ini sedang ditunggu-tunggu masyarakat luas, terutama masyarakat Jawa untuk memimpin bangsa ini. Sebab, dalam tradisi Jawa, untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera, diyakini ada satria pinilih yang tampil. Dialah orang yang sebelum waktunya keluar masih disimpan atau dipingit. Orang Jawa selalu berharap hadirnya satria piningit untuk memegang tampuk pimpinan. Mungkinkah? Kita lihat saja nanti. Sebentar lagi.
KOMENTAR OLEH - Lailiyatis Sa'adah, guru PAUD di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, dan pengelola Taman Baca AIDA di Jember
Judul Buku : Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana
Penulis : Arwan Tuti Artha
Penerbit : Galangpress, Jogjakarta
Aswrm wbt.
ReplyDeleteAdapun Sri Sultan Hamengku Buwono X skrg adalah "pemangku" .Manakala Raja nya berada di mana??
Cuba perhatikan bendera Indonesia dengan bendera parti politik yang memerintah di Malaysia. Pasti ada perbezaannya kan..!! Bulatan kuning dan keris hijau..
Pembesar kedua negera sedia memaklumi perkara ini..
Dahulu rakyat seberang datang ke sini membawa amanat mencari anak Raja yang hilang,
Sekarang mereka datang ke sini mencari photo agong juga..(RM)
Maka bagaimana kesudahannya ??
Bagimana dengan hukum karmanya ...
Soldasembilan
Silakan Soldasembilan. Menarik sungguh bunyinya. Teruskan lagi. Teruskan.
ReplyDeleteRajamenangis
Salam
ReplyDeleteAdapun ''...sudah tercium pada saat dirinya menyatakan tidak lagi bersedia menjadi gabenor daerah istimewa jokjakarta.......''
Mahu menjadi presiden RI maka tahta keraton mahu diwariskan kepada siapa atau mahu diserahkan kepada mantu atau putri-putri yang ada....? Terhormat kah jika memperlakukan yang demikian. Telah tiadakah kaedah yang paling terhormat untuk dituruti......?
Persoalan yang hebat mengapa perkara ini berlaku??
Telah lupakah tentang perjanjian raja-raja terdahulu.
Adapun saatnya sudah sampai Mbah Kanjeng Putri Ratu inginkan yang asli sejati.
Tajuk yang enak didengar ...langkah Raja Jawa menuju istana....
Persoalan kenapa selepas menjejak kaki di kraton ditimpa stunami alam nusantara... Mengapa ditertawakan malah mengapa dihina.....
Jangan memperjudikan nasib rakyat jelata ditimpa keperitan dan kemelaratan.....
Adapun Mbah Kanjeng Putri Ratu
telah menyampaikan amanahnya......
Daerah istimewa sejak turun temurun diberkati dan dirahmati...
Kalau benar Satrio Peningit kenapa Jokja ditimpa gempa
Kalau benar Satrio Peningit wilayah taklukan pasti makmur dan dirahmati kurnia Tuhan yang maha kuasa. Masih tidak cukupkah bukti yang sedemikian atau macam mana lagi???
Adapun Mbah Kanjeng Putri Ratu telah menjalankan tugas di dalam Kerajaan Allah Taala....
Persoalan yang halus tetapi kena dijawab dengan pasti adakah Satrio Peningit titisan dari Raden fatah atau titisan dari raden mas said ?, walaupun Sang Prabu berdua masih ada hubung kait kekeluargaan masing-masing titisan majapahit bersama para sunan yang lain telah mendirikan masjid agung demak sebagai mercu tanda pemerintahan Kerajaan Mataram Islam dan sebagai petunjuk yang amat besar tentang kejatuhan kerajaan hindu/budha yang sangat ampuh di tanah jawa umumnya dunia di nusantara lebih kurang 500 tahun yang lampau. Samada Satrio Peningit atau Ratu Adil atau Dewa Sealam Tunggal, apa pun jua sebutannya Sang Prabu yang ditunggu-tunggu itu yang dimaksudkan, adakah titisan dari Raden Fatah atau titisan dari Raden Mas Said ?. Bukankah raja- raja di Jokja titisan susunan dari Raden Fatah, bukankah itu yang diwar-warkan.
Lupakah kita kisah Prabu Joyoboyo pernah mengatakan didalam kitab perimbun tua.....
Masih ingatkah kita peristiwa Panggeran Jimbun atau Raden Fatah yang telah menuruti amanah Sunan Kali Raden Mas Said,yang demikian turun temurun amanah keluarga diperturunkan.......
Masih adakah yang menyimpan rahsia tentang amanah raden wijayaraja kepada titisannya yang menjadi raja kerajaan majapahit.........
Pak dogol pernah mengatakan kepada woklong,jika mahu mengenal Dewa Setunggal Alam bukan dipandang pada tubuh dan syariat semata.
Tuhan pernah mengatakan didalam kitab al quran .........kami pun menunggu....
Apabila yang haq datang maka akan hilanglah perkara yang bathil.
Cerita apa lagi selepas al quran sampian mahu beriman.
Ianya sulit, teramat sulit,malah teramat-amat sulit untuk dipercayai namun ianya adalah benar..
Kulosiwungampunten ya kanjeng gusti prabu ageng
Wongklaten