Friday, April 30, 2010
RAJAMENANGIS MENSYORKAN BUKU INI SEPANJANG ZAMAN
"Sesungguhnya manusia dijadikan bersifat keluh kesah, apabila ia ditimpa keburukan, ia keluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan (harta), ia enggan (bersedekah) kecuali orang yang bersolat." - Surah Al-Ma'rij: 17-22
KANDUNGAN
BAB I: PENYAKIT ROHANI DAN PENGARUHNYA
1. Penyebab Keresahan Hidup
2. Agama Penangkal Penyakit Rohani
BAB II: JENIS-JENIS PENYAKIT ROHANI
1. Hasad Dengki
2. Sombong
3. Riyak
4. Fitnah (Namimah)
5. Mengumpat
6. Zalim (Kejam)
7. Dusta
8. Marah
9. Mancaci Maki
10. Bakhil (Kikir)
11. Mungkir Janji
12. Cintakan Dunia
13. Munafik (Nifak)
BAB III: RAWATAN PENYAKIT ROHANI SECARA KESELRUHAN
1. Mengingati Allah
2. Mengerjakan Solat
3. Taubat
4. Takut Kepada Allah
5. Mujahadah
6. Muhasabah
7. Muraqabah
8. Takwa
9. Sabar
10. Qana'ah
11. Warak
12. Zuhud
13. Tawaduk
14. Istiqamah
15. Menjauhi Makanan Dan Minuman Haram
BAB IV: DOA-DOA PENTING UNTUK MEMBERSIHKAN ROHANI
1. Doa Pengampunan Dosa
2. Doa Menguatkan Iman
3. Doa Memperoleh Petunjuk Allah
4. Doa Agar Sentiasa Bersyukur Kepada Allah
5. Doa Memohon Perlindungan Akhlak Buruk
6. Doa Untuk Membersihkan Hati Dan Jiwa
7. Doa Untuk Menghilangkan Keresahan
8. Doa Agar Dijauhkan Sifat Nifak, Kufur Dan Fasiq
9. Doa Agar Dijauhkan Daripada Maksiat
10. Doa Mencapai Kebahagiaan Dunia Dan Akhirat
Harga = RM13.00
Mukasurat = 199
Penulis = Drs. Hanafi Mohamed
RAJAMENANGIS MENJUNGJUNG TITAH SULTAN SELANGOR
RAJAMENANGIS bersetuju dengan titah amaran DYMM Sultan Selangor kelmarin, seperti dilaporkan oleh Berita Harian:
Peringatan Sultan terhadap mereka yang enggan ikut peraturan:
KLANG: Sultan Selangor, Sultan Sharafuddin Idris Shah, semalam mengingatkan sesiapa yang tidak bersetuju dengan peraturan dan undang-undang di negeri ini, termasuk larangan berpolitik di masjid serta surau, hendaklah mengelak daripada datang ke Selangor.
Baginda menegaskan walaupun tiada halangan bagi rakyat dari negeri lain untuk bermastautin atau mencari rezeki di negeri ini, mereka hendaklah mematuhi segala peraturan serta undang-undang di Selangor.
Sultan Sharafuddin menjelaskan baginda melarang masjid dan surau digunakan sebagai pentas politik semata-mata untuk menjaga kesucian dan keharmonian tempat ibadat itu.
“Masjid dan surau adalah tempat umat Islam berkumpul bagi melakukan amal ibadat di samping mengeratkan silaturahim sesama mereka.
“Sesetengah ahli politik mempertikaikan titah beta dan menganggapnya sebagai karut dan peninggalan penjajah,” titah baginda ketika merasmikan pertukaran nama Sekolah Agama Menengah Tinggi Jalan Kota Raja di sini kepada Sekolah Agama Menengah Tinggi Sultan Hisamuddin.
Sultan Sharafuddin menegaskan jika masjid dan surau dibiarkan untuk digunakan sebagai pentas kempen politik, ia dikhuatiri akan disalahgunakan pihak tidak bertanggungjawab dengan perbuatan yang boleh mencemar kesucian masjid, seperti mencaci, memfitnah serta membuat tohmahan tidak berasas dan memburukkan keperibadian seseorang.
Sultan Sharafuddin juga menjelaskan keadaan pada zaman Rasulullah adalah berbeza kerana baginda berceramah di masjid untuk mengajak umat Islam mengukuhkan perpaduan.
“Nabi Muhammad tidak menyebar fitnah atau menghina orang lain dalam masjid seperti yang berlaku sekarang, sebaliknya menggunakan masjid untuk menyedarkan umat Islam pada masa itu kerana ia menjadi tempat umat Islam berkumpul untuk beribadah dan menguatkan silaturahim".
“Justeru, tidak munasabah bagi membandingkan peranan Rasulullah menggunakan masjid untuk berpolitik dengan keadaan sekarang, yang mana ahli politik mengambil kesempatan untuk menggunakan masjid sebagai platform untuk menyebarkan agenda politik mereka.
“Pada zaman Rasulullah juga, tidak ada kemudahan lain untuk berceramah kecuali masjid berbanding zaman sekarang seperti stadium, balai raya, pusat konvensyen dan dewan serba guna. Berceramahlah di tempat itu dan jangan menggunakan masjid,” titah baginda.
(c) Berita Harian
Thursday, April 29, 2010
SUSUNAN RAJA-RAJA JAWA HINGGA KE HARI INI
Dinasti Syailendra
* Bhanu (752-775)
* Wisnu (775-782)
* Indra (782-812)
* Samaratungga (812-833)
* Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya)
Dinasti Sanjaya
* Sanjaya(sanjaya) (732-7xx)
* Rakai Panangkaran : Dyah Pancapana (syailendra)
* Rakai Panunggalan
* Rakai Warak
* Rakai Garung
* Rakai Patapan (8xx-838)
* Rakai Pikatan (838-855), mendepak Dinasti Syailendra
* Rakai Kayuwangi (855-885)
* Dyah Tagwas (885)
* Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887)
* Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887)
* Rakai Watuhumalang (894-898)
* Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910)
* Daksa (910-919)
* Tulodong (919-921)
* Dyah Wawa (924-928)
* Mpu Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)
Medang
* Mpu Sindok (929-947)
* Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx)
* Makutawangsawardhana (9xx-985)
* Dharmawangsa Teguh (985-1006)
[sunting] Kahuripan
* Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang
(Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)
Janggala
(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)
Kadiri
(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)
* Kameswara (1116-1135), mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu
* Jayabaya (1135-1159)
* Rakai Sirikan (1159-1169)
* Sri Aryeswara (1169-1171)
* Sri Candra (1171-1182)
* Kertajaya (1182-1222)
Singhasari
* Ken Arok (1222-1227)
* Anusapati (1227-1248)
* Tohjaya (1248)
* Ranggawuni (Wisnuwardhana) (1248-1254)
* Kertanagara ( 1254-1292)
Majapahit
* Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309)
* Jayanagara (1309-1328)
* Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
* Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389)
* Wikramawardhana (1390-1428)
* Suhita (1429-1447)
* Dyah Kertawijaya (1447-1451)
* Rajasawardhana (1451-1453)
* Girishawardhana (1456-1466)
* Singhawikramawardhana (Suraprabhawa) (1466-1474)
* Girindrawardhana Dyah Wijayakarana(1468-1478)
* Singawardhana Dyah Wijayakusuma (menurut Pararaton menjadi Raja Majapahit selama 4 bulan sebelum wafat secara mendadak ) ( ? - 1486 )
* Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabumi (diduga kuat sebagai Brawijaya, menurut Kitab Pararaton dan Suma Oriental karangan Tome Pires pada tahun 1513) (1474-1519)
Demak
* Raden Patah (1478 - 1518)
* Pati Unus (1518 - 1521)
* Sultan Trenggono (1521 - 1546)
* Sunan Prawoto (1546 - 1549)
Kesultanan Pajang
* Jaka Tingkir, bergelar Sultan Hadiwijoyo (1549 - 1582)
* Arya Pangiri, bergelar Sultan Ngawantipuro (1583 - 1586)
* Pangeran Benawa, bergelar Sultan Prabuwijoyo (1586 - 1587)
Mataram Baru
Daftar ini merupakan Daftar penguasa Mataram Baru atau juga disebut sebagai Mataram Islam. Catatan: sebagian nama penguasa di bawah ini dieja menurut ejaan bahasa Jawa.
* Ki Ageng Pamanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir
* Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya) (1587 - 1601), menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka.
* Panembahan Hanyakrawati (Raden Mas Jolang) (1601 - 1613)
* Adipati Martapura (1613 selama satu hari)
* Sultan Agung (Raden Mas Rangsang / Prabu Hanyakrakusuma) (1613 - 1645)
* Amangkurat I (Sinuhun Tegal Arum) (1645 - 1677)
Kasunanan Kartasura
Lihat pula: Kasunanan Kartasura
1. Amangkurat II (1680 – 1702), pendiri Kartasura.
2. Amangkurat III (1702 – 1705), dibuang VOC ke Srilangka.
3. Pakubuwana I (1705 – 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal dengan nama Pangeran Puger.
4. Amangkurat IV (1719 – 1726), leluhur raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.
5. Pakubuwana II (1726 – 1742), menyingkir ke Ponorogo karena Kartasura diserbu pemberontakl; mendirikan Surakarta.
Kasunanan Surakarta
Kasunanan Surakarta
1. Pakubuwana II (1745 - 1749), pendiri kota Surakarta; memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745
2. Pakubuwana III (1749 - 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa setengah wilayah kerajaannya.
3. Pakubuwana IV (1788 - 1820)
4. Pakubuwana V (1820 - 1823)
5. Pakubuwana VI (1823 - 1830), diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia; juga dikenal dengan nama Pangeran Bangun Tapa.
6. Pakubuwana VII (1830 - 1858)
7. Pakubuwana VIII (1859 - 1861)
8. Pakubuwana IX (1861 - 1893)
9. Pakubuwana X (1893 - 1939)
10. Pakubuwana XI (1939 - 1944)
11. Pakubuwana XII (1944 - 2004)
12. Gelar Pakubuwana XIII (2004 - sekarang) dituntut oleh dua orang, Yang Mulia Pangeran Hangabehi dan Yang Mulia Pangeran Tejowulan.
LANGKAH RAJA JAWA MENUNTUT ISTANA
LANGKAH RAJA JAWA MENUNTUT ISTANA |
Penulis: | Arwan Tuti Artha |
Memahami Sabda Pandhita Ratu
''Buat apa sebuahTahta dan menjadi Raja apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat''
(Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 7 Maret 1969)
Sejak itu, dan hingga hari ini, peta politik Tanah Air berubah drastis dan kian hari kian memanas. Bagaimana tidak, sebagian kalangan sebelumnya tidak begitu memperhitungkan Sultan bakal berani dan ''nekat'' maju menjadi capres, sebab ia sendiri sedang mengurusi rakyat Jogja di singgasana keratonnya. Sebagian lain berpendapat, wacana Sultan akan maju ke bursa pencalonan presiden sesungguhnya sudah tercium pada saat dirinya menyatakan tidak lagi bersedia menjadi gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) pada 2007.
Dari sana, muncullah spekulasi di balik sikap Sultan dalam memperlakukan kekuasaan dan berpolitik. Pertama, dengan tidak menolak menjadi gubernur pada periode berikutnya, selain karena alasan telah menjabat dua kali periode, Sultan seolah hendak memberikan pelajaran demokrasi kepada rakyat Jogja dan masyarakat luas pada umumnya. Padahal, oleh pemerintah pusat, Jogja dilabeli ''daerah istimewa'' yang tidak mempersoalkan manakala masyarakat setempat menghendaki Sultan sebagai raja sekaligus gubernur.
Kedua, ada anggapan bahwa majunya Sultan ke bursa capres merupakan kritik praksisnya terhadap pemerintahan pascareformasi, yang tak juga berhasil menyejahterakan rakyat. Realitas kemiskinan, pengganguran, konflik antarindividu maupun kelompok, dan lain-lain, mengetuk sekaligus membuka hati Sultan untuk ikut andil secara langsung mengurusi rakyat Indonesia. Pemerintahan saat ini, menurut penilaian Sultan, gagal menjalankan amanah rakyat sehingga berada di titik nadir kemelaratan.
Ketiga, deklarasi Sultan yang menyatakan siap berlaga dalam kompetisi capres 2009 adalah bentuk penyaluran hak politiknya sebagai warga negara, walau risiko yang ditanggung amatlah besar. Sultan rela meninggalkan tahta kerajaannya demi --apa yang ia yakini-- kepentingan rakyat. Bahkan, Sultan ikhlas mencopot gelar wong agung-nya (seperti) seratus tahun lalu, jika memang harus luntur dengan sendirinya lantaran ia terjun ke dunia politik.
Pada pijakan ketiga poin itulah, buku ini berbicara sangat kompleks menyangkut seluk-beluk kehidupan dan perjuangan Sultan menuju gerbang istana negara. Arwan Tuti Artha, penulisnya, mengangkat persoalan ke-Sultan-an lewat perspektif budaya Jawa (baca: Kejawen), semacam ''ilmu batin''. Perspektif model ini, tampaknya sangat baik dan bagus untuk mengetahui tujuan yang sebenarnya dari apa yang dilakukan Sultan dalam tindak-laku perbuatan maupun ucapannya. Hal itu jelas jauh berbeda manakala strategi analisis yang digunakan dengan pendekatan akademis yang cenderung kaku dan kering dari realitas yang senyatanya.
Arwan tiada henti selalu mengingatkan bahwa segala tindak-tanduk dan ucapan Sultan adalah cerminan kawula (rakyat) untuk gusti (raja). Seorang raja, karena menjadi pusat kekuasaan, maka rakyat hanya akan mendengar apa yang disabdakan, baik itu perintah, larangan atau pernyataan. Oleh sebab itu, di kerajaan Jawa tak ada hukum, kecuali kata-kata keramat raja yang dikenal sebagai sabda pandhita ratu. Apa yang sudah diucapkan seorang raja merupakan keputusan final yang tidak bisa ditarik kembali. Keputusan final seorang raja itu ora wolak-walik sepisan mungkasi. Artinya, sekali tidak perlu diulangi karena sudah melalui pertimbangan panjang, cermat dengan penuh kesabaran (hlm. 81).
Apalagi, apa yang dikatakan seorang raja itu ibarat sabda, memiliki kekuatan magis dan kekuatan mistis. Artinya, kata-kata seorang raja bukan semata-mata milik raja saja, melainkan kata-kata yang sudah disempurnakan dengan kekuatan kosmik dan sudah meresap ke dalam perasaan dan pikiran raja bersangkutan. Boleh jadi, apa yang bakal terjadi nanti, sebenarnya telah diperhitungkan matang-matang oleh Sultan.
Lantas, apakah ada jaminan Sultan benar-benar bisa menjadi presiden RI berikutnya? Apakah ia akan dicalonkan dari partai besar yang sampai saat ini masih menaunginya? Buku ini tidak berbicara kemungkinan-kemungkinan politis itu. Yang amat ditekankan dalam buku setebal 174 ini adalah niat tulus Sultan untuk memperbaiki bangsa. Keputusan itu bukan merupakan manuver politik, tetapi sesuai dengan panggilan hati dan jiwanya. Sultan tidak akan main-main dengan ucapannya, bahkan dalam mengurus negeri ini. Itulah yang dia ucapkan, ''Sekali lagi saya ingin mengabdi, bukan merecoki negeri" (hlm. 111).
Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi niat Sultan untuk maju sebagai capres. Ini adalah konsekuensi logis dari sabda pandhita ratu. Tidak heran Sultan terlihat ''menghindar'' ketika ada kabar bahwa dirinya akan dilamar menjadi cawapres mendampingi capres Megawati yang diusung PDI Perjuangan baru-baru ini. Sultan masih memegang teguh sabda pandhita ratu itu, sebagai capres bukan cawapres. Tapi entah di kemudian hari...
Sultan percaya bahwa dirinya saat ini sedang ditunggu-tunggu masyarakat luas, terutama masyarakat Jawa untuk memimpin bangsa ini. Sebab, dalam tradisi Jawa, untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera, diyakini ada satria pinilih yang tampil. Dialah orang yang sebelum waktunya keluar masih disimpan atau dipingit. Orang Jawa selalu berharap hadirnya satria piningit untuk memegang tampuk pimpinan. Mungkinkah? Kita lihat saja nanti. Sebentar lagi.
KOMENTAR OLEH - Lailiyatis Sa'adah, guru PAUD di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, dan pengelola Taman Baca AIDA di Jember
Judul Buku : Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana
Penulis : Arwan Tuti Artha
Penerbit : Galangpress, Jogjakarta
Sultan Jawa - catatan dari Aceh
Tahun 1345 Ibnu Batutah sempat singgah di Kerajaan Samudera Pasai dalam pelayarannya menuju Tiongkok. Salah satu kesannya yang tertuang dalam kitab Tuhfatun Nazhar fi Gharaibil Amshar mengisyaratkan bahwa sufi bermazhab Maliki ini sangat mengagumi Sultan "Jawa" (yang dimaksud raja Samudera Pasai), Sultan Al-Malikuz-Zahir. Padahal Sultan Jawa itu penganut mazhab Syafi'i yang taat.
Ia menceritakan, ketika sang Sultan berkenan menerima kedatangannya, terasa suasana yang berbeda dari istana-istana lainnya. Waktu itu Sultan memakai jubah fuqaha (pakaian para ahli fikih) dan sedang berbincang-bincang mengenai paham Syafi'i dengan Qadhi AmirRasyid. "Dibandingkan dengan raja-raja Islam yang saya datangi, baik di Hindustan ataupun Turkistan, di Bukhara maupun Mesir, Sultan "Jawa" itulah yang paling luas wawasan agamanya dan paling dalam ilmunya," ujar Ibnu Batutah dalam kitab karangannya itu.
Agaknya ia begitu terpikat oleh perangai Sultan Jawa ketika ia melanjutkan: "Dengan jubah fuqaha itulah sang Raja berjalan kaki ke masjid tiap kali menjalani salat Jum'at. Sesudah itu, dalam acara-acara resmi barulah ia mengenakan pakaian kebesarannya selaku seorang raja yang adil dan kaya-raya." Kesufian menurut jalan pikiran Ibnu Batutah memang tidak terpancang cuma pada satu tolok ukur, meninggalkan sama sekali gebyar-gebyar duniawiah lantaran kesufian pada hakikatnya berakar pada kesediaan mengendalikan diri sebatas kemampuan, sesuai dengan zaman, keadaan, dan lingkungan.
Ketakjuban Ibnu Batutah kepada Al-Malikuz-Zahir ternyata bukan karena Sultan Jawa itu berjubah tambal- tambalan seperti yang dipakai Umar bin Khaththab semasa menjabat khalifah I, melainkan lantaran kepiawaiannya sebagai ahli agama, justru pada waktu raja-raja di seantero negeri Islam lainnya sedang menumpukan perhatiannya untuk membangun istana dan monumen seindah-indahnya. Mereka menyerahkan segala urusan agama hanya kepada para ulama yang mendapat gaji kerajaan, dan berlepas tangan dari semua perkara samawiyah walaupun banyak di antaranya yang menyandang gelar amirulmukminin, pemimpin orang-orang beriman.
Dibandingkannya pula sikap Sultan Jawa itu dengan suasana serba megah di Majapahit yang waktu itu diperintah oleh Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya, Gajah Mada. Mana mungkin raja gung binathara itu keluar dari istananya tanpa pengiring dan payung kebesaran. Untuk menjaga keamanannya, mengingat musuhnya begitu banyak, Hayam Wuruk Pasti selalu dikawal oleh pasukan Bhayangkara yang tersohor, anal itu. Dan memang demikianlah seharusnya, sebab negara akan kacau dan berkubang dalam perpecahan apabila tiba-tiba rajanya terbunuh atau terluka.
Maka ketidakwajaran AI-Malikuz-Zahir itulah yang memantulkan kebenarannya selaku raja yang tidak membutuhkan pengawalan. la bisa muncul sewaktu-waktu di tengah rakyatnya tanpa gentar sebab ia menerapkan ajaran kesufian Khalifah Umar pada nilai- nilainya, yaitu bahwa'pemimpin adalah pelayan masyarakat yang dipimpinnya. Meskipun begitu, rakyat justru dengan sukarela sepakat membela dan mendukungnya sehingga tentara Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada sendiri gagal menaklukkan kerajaannya tatkala pada tahun 1339 Masehi melakukan serangan besar-besaran.
Bagi AI-Malikuz-Zahir, membangun benteng seperti "tembok besar" Tiongkok belum bisa menjamin ketahanan negaranya. Juga menyusun ketentaraan serba kuat dan garang belum tentu membuat pemerintahannya kokoh dan disegani. Baginya lebih penting mendirikan benteng di dalam hati rakyat dengan menampilkan dirinya sebagai raja yang bukan menguasai, melainkan mengayomi.
Ia juga tidak bernafsu untuk menaklukkan raja-raja lain karena ia lebih cenderung untuk senantiasa berusaha menaklukkan hawa nafsunya sendiri. Dan itulah keyakinannya, bahwa keagungan seorang pemimpin adalah jika ia berhasil menundukkan syahwatnya di tengah kebesaran kekuasannya lantaran baginya, kekuasaan bukan hak turun-temurun, melainkan amanat Tuhan dan kepercayaan rakyat.
Maka keadilan yang dilaksanakannya adalah keadilan dalam makna kesufian, sesuai dengan ketentuan : "Keadilan ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan kelaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya," Sejak ia berikrar hendak mengikuti sunah Nabi saw, ia pun harus bertanggung jawab untuk memikl amanat kepemimpinannya selaras dengan ajarannya, Karena Nabi, tatkala memimpin daulah islamiyah, bertindak selaku pemimpin negara sekaligus pemimpin agama, ia juga harus berupaya agar tugas kesultanannya dapat mencakup dua kepentingan tersebut, kenegaraan dan keagamaan.
Barangkali tidak semua kepala negara mampu mengambil kedua fungsi itu mengigat keterbatasan kemampuan dan perkembangan keadaan. Namun, tetap kedua fungsi tersebut dapat diembannya dengan menuangkannya lewat undang-undang dan peraturan-peraturan, yang tentu saja harus terbuktikan lewat pelaksanaannya.
Sumber - http://www.acehforum.or.id/
DUNIA MELAYU - AWAS SONGKET TIRUAN DI TIMUR
Penenun bimbang perusahaan tempatan terpaksa gulung tikar KUALA TERENGGANU:
Pengguna yang ingin membeli songket Terengganu perlu berhati-hati berikutan ada segelintir peniaga yang tidak bertanggungjawab di negeri ini menjual songket tiruan dari India dengan harga tinggi seperti songket tempatan. Malah, songket tiruan yang didakwa seakan-akan songket tempatan itu ditiru 100 peratus bagi mengaburi mata pengguna sehingga sukar untuk membezakannya. Lebih teruk apabila penjualan songket tiruan secara berleluasa itu melumpuhkan pasaran songket tempatan serta menjejaskan pendapatan penenun songket berkenaan.
Penenun songket, Ahmad Ibrahim, 45, dari Kampung Manir, berkata sejak songket dari India dijual berleluasa di Pasar Besar Kedai Payang, permintaan terhadap songket Terengganu semakin berkurangan. “Sedih juga apabila mengenangkan nasib, malah perbuatan segelintir peniaga yang menjual songket itu dan menipu dengan mendakwa songket yang dijual itu songket Terengganu juga mengecewakan. Songket tiruan bermutu rendah berbanding songket Terengganu, paling lama ia hanya boleh dipakai selama satu tahun. “Kami tidak nafikan dari pandangan mata kasar corak serta sulamannya seperti songket Terengganu tetapi fabrik yang digunakan berbeza dan tidak selembut fabrik yang digunakan untuk songket Terengganu. “Lambat laun, jika pihak berwajib tidak memantau masalah itu, saya pasti industri atau pengusaha songket tempatan boleh gulung tikar dan tiada lagi yang berminat untuk menenun songket tempatan," katanya ketika ditemui, baru-baru ini.
Sementara itu, peniaga songket, Syed Ahmad Idrus, 72, berkata sebagai peniaga songket dia juga terkilan dengan sikap segelintir peniaga yang sanggup menipu pengguna apabila menjual songket India dengan harga tinggi seperti songket Terengganu. “Cuba bayangkan, untuk sehelai songket tiruan itu, kami hanya membayar RM12 sehelai dan ia mengikut gred, namun segelintir peniaga menjualnya dengan harga RM200 hingga RM400 sehelai. Saya akui, boleh dikatakan semua peniaga menjual songket tiruan termasuk saya tetapi saya menjualnya dengan harga RM50 sehelai dan menjelaskan kepada pelanggan antara songket tiruan dan songket Terengganu. “Tambahan pula, songket tiruan itu tidak memerlukan peniaga mengeluarkan modal kerana ia di hantar oleh pembekal dari India. Terpulanglah kepada peniaga sama ada ingin menjualnya dengan harga tinggi atau sebaliknya," katanya. Syed berkata, akibat perbuatan segelintir peniaga yang tidak bertanggungjawab itu, ramai pelanggan dari luar yang datang ke negeri ini merungut kerana songket yang dibeli mereka tidak berkualiti dan cepat berkedut serta sukar dipakai. Seorang pengguna,
Mohd Azham Mat, 25, dari Kampung Laut, berkata beliau hanya mengetahui songket yang diterima sebagai hadiah perkahwinan adalah songket tiruan selepas mendapat pengesahan peniaga di Pasar Besar Kedai Payang. “Patutlah kain songket yang diterima itu sukar dipakai. Menyedihkan apabila isteri membelinya dengan harga RM300 kerana menyangka ia songket Terengganu,” katanya.
(C) Oleh Ahmad Rabiul Zulkifli
bhkt@bharian.com.my
Wednesday, April 28, 2010
Imbasan seorang Tengku Raja Berdaulat
MEB: Peluang ubah Melayu?
MEB: Peluang ubah Melayu
MEB harus dilihat sebagai satu peluang untuk bangsa Melayu beranjak paradigma atau pemikiran daripada satu bangsa yang mengharapkan bantuan kerajaan dalam pelbagai bidang kepada Melayu yang berdikari, berilmu dan berkeyakinan tinggi untuk menempah kejayaan dalam segala bidang kerjaya atau keusahawanan di peringkat antarabangsa tanpa berharap kepada insentif kerajaan.
Beberapa tahun lalu Datuk Seri Najib Tun Razak buat pertama kali mengutarakan istilah Melayu Glokal, merujuk kepada Melayu yang bersikap dan berdaya saing global tetapi bertunjangkan budaya Melayu dan Islam.
MEB yang diumumkan baru-baru ini bertujuan untuk menjadikan Malaysia sebagai ekonomi maju dan berdaya saing, dengan rakyatnya menikmati kualiti hidup dan berpendapatan tinggi hasil pertumbuhan yang terangkum dan mampan. Ketiga-tiga konsep ini sebenarnya amat berhubung-kait. Untuk merealisasikan konsep 1Malaysia dan MEB, Melayu perlu terlebih dahulu menjadi Melayu Glokal.
Berkaitan pelaksanaan MEB yang masih dalam perancangan, terdapat suara-suara yang melahirkan rasa kerisauan mengenai status ketuanan Melayu berikutan perkongsian ekonomi dengan bangsa lain. Beberapa pihak berasa terancam jika jaminan 30 peratus ekuiti Melayu diluputkan.
Mentaliti Melayu sebegini adalah berkaitan dengan kekeliruan konsep "zero-sum game" di mana kita percaya saiz ekonomi adalah mutlak, maka kekayaan dan kemewahan bangsa lain adalah atas kehilangan dan keciciran bangsa Melayu. Sebaliknya, kita harus menyokong agenda-agenda di bawah MEB yang berpotensi untuk memperluaskan saiz ekonomi negara.
Dengan status sekarang, tindakan affirmatif tidak telus mungkin menghadkan saiz ekonomi kita pada kadar, sebagai contoh RM100. 30 peratus daripada RM100 ialah RM30. Tetapi dengan pelaksanaan Program Transformasi Ekonomi (PTE) dan Inisiatif Pembaharuan Strategik (IPS) di samping tindakan affirmatif yang lebih telus melalui MEB, saiz ekonomi negara perpotensi untuk berkembang dengan lebih maju.
Jika saiz ekonomi meningkat sehingga, sebagai contoh, RM200, 20 peratus ekuiti Melayu sudah berjumlah RM40 - melebihi jumlah kekayaan asal walaupun pada kadar ekuiti yang lebih rendah.
Kesimpulannya, adalah lebih baik untuk kita menghargai usaha dan bersama-sama menggembleng tenaga untuk meningkatkan saiz ekonomi dan kekayaan negara daripada begitu taksub untuk mempertahankan jaminan ekuiti, insentif atau subsidi daripada kerajaan.
Masyarakat Melayu harus bersedia dan menerima dengan hati yang terbuka apabila MEB dibentangkan dengan lebih terperinci pada hujung tahun nanti. Meminjam bicara Datuk Dr. Norraesah Mohamad, kita perlu menilai kemungkinan tanpa jaminan kuota dan ekuiti, Melayu akan menjadi lebih berdaya saing.
Kita akan menjadi lebih bersedia menyahut cabaran untuk menjadi "pemain" yang aktif dalam persekitaran ekonomi pasaran yang baru di Malaysia. Lebih-lebih lagi, kerajaan juga sudah beberapa kali menyatakan nasib golongan yang terpinggir akan terus terbela di bawah MEB.
Kita harus berusaha untuk mengubah nasib kita sendiri dan menerima hakikat bahawa budaya mengharapkan subsidi tidak akan berpanjangan. Sebagai perumpamaan, ubat yang diambil pada kadar minimum yang disarankan dapat membantu memulihkan kesakitan. Tetapi, ubat yang diambil secara berlebihan akan memudaratkan diri dan berkemungkinan menjadikan kita penagih tegar.
Jika kita gagal untuk berubah ketika ekonomi negara masih dalam keadaan baik pada hari ini, esok atau lusa kita mungkin dipaksa oleh arus ekonomi pasaran untuk menerima perubahan dalam keadaan tidak bersedia, ekonomi yang tidak berdaya saing dan terancam untuk terus relevan dalam sistem perdagangan antarabangsa.
Dengan usaha yang terancang, bangsa Melayu akan dapat bersedia untuk menghadapi perubahan dasar ekonomi negara. Tentunya ia bukanlah satu perjalanan yang mudah. Yang pasti, perjuangan kita masih belum selesai!
"Demi sesungguhnya selepas kesulitan pasti ada kemudahan. Selepas kesulitan pasti ada kemudahan" (Al-Insyirah).
Pendekatan progresif untuk persediaan Melayu.
Bagaimanakah bangsa Melayu dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi arus perubahan yang dibawa MEB?
Salah satu cabang Inisiatif Pembaharuan Strategik (IPS) adalah untuk mengukuhkan penyampaian pendidikan berkualiti tinggi yang mendorong inovasi dan teknologi. Pelancaran Bidang Keberhasilan Utama Negara (NKRA) Pendidikan oleh Timbalan Perdana Menteri, Tan Sri Muhyiddin Yassin yang menitikberatkan pendidikan awal adalah satu usaha yang sangat baik. Antara lain, khusus untuk melahirkan pelajar Melayu berprestasi tinggi,
1) Program Sekolah Berprestasi Tinggi (SBT) harus digiatkan di semua Sekolah Berasrama Penuh (SBP) dan Maktab Rendah Sains Mara (MRSM) yang mempunyai peratusan pelajar Melayu yang tinggi. Pengetua dan guru-guru di SBP dan MRSM boleh diberi kuasa autonomi untuk memilih pelajar dan menggunakan kurikurum inovatif.
Tanggungjawab dan objektif mereka adalah untuk menjana pelajar Melayu yang berprestasi tinggi dalam bidang akademik, keusahawanan, kepimpinan dan sahsiah diri yang dapat memonopoli tawaran biasiswa ke luar negara atau mengikuti pengajian dalam bidang-bidang strategik di dalam negara dari segi merit tanpa memerlukan kuota istimewa.
2) Sistem pendidikan tinggi perlu meningkatkan kebolehpasaran graduan Melayu. Siswazah harus diberi peluang untuk menimba pengalaman bekerja (praktikal training) di syarikat multinasional berkaitan kerajaan (GLC). Siswazah cemerlang dalam program ijazah di institusi dalam negara juga dibolehkan untuk memohon dana pinjaman pendidikan sebanyak RM60-RM70 ribu untuk mengikuti pengajian musim panas selama tiga bulan di universiti terkemuka luar negara untuk memperluaskan perspektif dan menimba pengalaman belajar di persekitaran yang terbaik.
3) Semangat anak Melayu untuk menuntut ilmu juga perlu dibakar di pelbagai peringkat. Kerajaan telah menyediakan pelbagai kemudahan dan bantuan untuk belajar, tetapi jika anak muda Melayu masih belum dapat memahami kepentingan berilmu, Melayu akan terus berada pada takuk yang sama. Apa yang diperlukan adalah satu gerakan akar-umbi yang radikal untuk membakar semangat generasi muda Melayu untuk keluar daripada kepompong kemalasan dan belajar bersungguh-sungguh untuk berjaya. Ia memerlukan satu program yang sistematik dalam mengenal pasti bakat-bakat muda yang perlu "dikejutkan", pengenalan modul pembelajaran berkesan, dan perkongsian pengalaman dan titian hidup oleh individu Melayu yang telah berjaya.
Pihak media juga dapat memainkan peranan. Ketika berusia belasan tahun, saya pernah terbaca dalam Pancaindera dalam Mingguan Malaysia kisah seorang warga Malaysia di luar negara yang berjaya mendapat Ph.D sebelum berusia 30 tahun. Ini telah sedikit-sebanyak mendorong saya menjejaki langkah beliau. Hari ini, paparan-paparan picisan membuatkan anak muda lebih mengagungkan ikon hiburan dan sukan dari Barat daripada usahawan dan cendekiawan.
4) Insentif berserampang dua mata untuk menggalakkan keluarga Melayu menitikberatkan faktor pendidikan dan meningkatkan pendapatan golongan berpendapatan rendah dapat diadakan dengan menawarkan skim bantuan pelaburan Amanah Saham Bumiputera (ASB) kepada yang berkelayakan berdasarkan nisbah perbelanjaan pendidikan tahunan per pendapatan bersih. Kerajaan akan meminjamkan dana setinggi RM150,000 pada kadar faedah sifar. Individu terpilih perlu membuat bayaran bulanan sebanyak RM50 misalnya untuk menyemai disiplin menabung dan penerima pinjaman akan mendapat pendapatan tambahan sebanyak RM1,000 sebulan.
Apabila kesemua anak peminjam telah menamatkan pengajian, pendapatan tambahan dan pinjaman akan dihentikan, dan modal asal pinjaman berjumlah RM150,000 akan dipinjamkan kepada individu berkelayakan lain.
(c) 2010 PENULIS ialah Oleh DR. MOHD RAPIK SAAT
Pengerusi Kelab UMNO Chicago, Amerika Syarikat
SEJARAH RINGKAS ASAL USUL NEGERI SEMBILAN
Raja Melewar yang dijemput dari Minangkabau itu telah ditabalkan pada tahun 1773M oleh Datuk-datuk Penghulu Luak (waktu itu belum bergelar Undang) di Kampung Penajis, Rembau. Sebelum itu walaupun Negeri Sembilan di bawah pemerintahan Sultan Johor, tetapi Luak-luak di Negeri Sembilan ini adalah di bawah pentadbiran Penghulu masing-masing dengan dibantu oleh Lembaga dan Buapak. Sistem pentadbiran negeri dapat dikatakan satu pemerintahan yang bercorak demokrasi yang berbentuk 'tier system'. Perbilangan yang menyebutkan,
'Bulat anak buah menjadikan Buapak
Bulat Buapak menjadikan Lembaga
Bulat Lembaga menjadikan Penghulu
Bulat Penghulu menjadi Raja'
membuktikan atas kebenaran ini. Manakala sistem pentadbiran pula turun dari atas iaitu Raja, Penghulu, Lembaga dan Buapak. Buapak yang memiliki anak buah menyampaikan segala perintah. Itulah yang disebutkan dalam perbilangan adatnya:
'Berjenjang naik, bertangga turun'.
Setelah penjajah Inggeris mencampuri pemerintahan, maka berlakulah berbagai-bagai perkara yang tidak diingini -"pecah-pecah dan perintah" yang menjadi permainan penjajah itu telah digunakan dengan bijaksana oleh penjajah Inggeris. Akhirnya Sungai Ujung dan Jelebu terpaksa menerima seorang Residen British, kemudian diikuti oleh Rembau manakala Seri Menanti telah kalah berperang dengan Inggeris yang dibantu oleh Penghulu Syed A.Rahman Sungai Ujung pada tahun 1874M.
Nama Negeri Sembilan yanag kita warisi sekarang ini adalah diambil dari nama 'Sembilan Negeri' yang diketuai oleh 'Sembilan Penghulu' yang menabalkan Raja Melewar. Perkataan 'Negeri' di pangkal huruf 'Sembilan' itu adalah diambil dari istilah yang lazim dipakai dari tanah leluhur (asal) Minangkabau yang membawa pengertian satu kawasan atau daerah yang kira-kira seluas luak atau mukim atau kampung, orang-orang Minang memanggil dengan nama 'negeri'.
DI SEBALIK NAUNGAN
Sebelum negara mencapai kemerdekaan sebagaimana juga negeri-negeri Melayu yang lain, Negeri Sembilan adalah sebuah negeri yang dijajah sejak YamTuan Antah dialahkan dalam perang Bukit Putus dalam tahun 1874M itu. Meskipun kerajaan Inggeris mendewa-dewakan bahawa, negeri-negeri Melayu ini adalah negeri naungan di baawah panji-panji kerajaan Inggeris, Ia tidak sama tarafnya dengan Negeri-negeri Selat seperti Singapura, Pulau Pinang dan Melaka. Pegawai Inggeris yang menjadi wakil Baginda King di England itu dipanggil Gobenor, sebaliknya dalam Negeri-negeri Melayu yang sembilan lagi itu gelaran Gobenor ini dipanggil Pesuruhjaya Tinggi British (British High Commissioner) saja.
Negeri ini memiliki bendera sendiri, lagu kebangsaan sendiri seolah-olah menggambarkan sebagai sebuah negeri yang berdaulat. Baik Pesuruhjaya Tinggi Inggeris yang beribu pejabat di Singapura itu, Residen British atau pegawai-pegawai daerah yang semuanya Inggeris dalam surat menyurat dengan DYMM, Datuk-datuk Undang, Penghulu malah dengan Datuk-datuk Lembaga pun mereka membahasakan dirinya dengan perkataan 'beta' dan 'sahabat beta', ertinya mempunyai taraf yang sama.
Sebaliknya kalau kita meneliti perjanjian yang dikatakan persahabatan di antara British di satu pihak dengan Raja dan Undang di pihak lain ada disebutkan disitu, bahawa kerajaan British berhak meletakkan seorang Pegawai British, yang dipanggil 'British Resident' untuk memberikan nasihat dalam bidang pentadbiran yang mesti dipatuhi kecuali yang mengenai agama dan adat istiadat.
Bagi menjalankan pentadbiran dalam negeri, yang dikatakan bersahabat itu, kerajaan British telah membentuk sebuah majlis pentadbiran yang dipanggil 'Dewan Keadilan dan Undang. Anggotanya terdiri dari DYMM Yang DiPertuan Besar sebagai Pengerusi, Resident British, Datuk-datuk Undang yang Ampat, Tunku Besar Tampin, Tunku Besar Seri Menanti, Datuk Shahbandar dan seorang ketua kaum Cina, manakala seorang pegawai Inggeris menjadi setiausahanya.
Dewan ini berkuasa membuat undang-undang dan peraturan. Ia dapat diandaikan seperti Exco sekarang, yang berbeza Exco tidak berkuasa membuat undang-undang.
Meskipun dikatakan 'Dewan Keadilan' yang dipengerusikan oleh DYMM itu berkuasa membuat undang-undang dan menjadi pusat cucuran tadbir pemerintahan negeri tetapi nasihat Residen British masa itu hendaklah diterima dan dipatuhi. Kebijaksanaan diplomasi Inggeris yang lunak di sebalik menggunakan perkataan 'nasihat' tidak 'perintah' itu menjadikan orang-orang Melayu termasuk orang-orang besar kita khayal dibuai dalam mimpi-mimpi indah yang tidak ramai di antara kita yang menyedari 'mulut disuap pisang, buntut dicangkuk duri'.
SELEPAS PERANG
Setelah Inggeris kembali ke Semenanjung ini sesudah Jepun menyerah kalah dalam Perang Dunia Kedua pada penhujung tahun 1945,kerajaan Inggeris telah memaksakan pemerintahan Malayan Union. Dengan itu jadilah negara ini secara langsung terletak di bawah pentadbiran dan jajahan takluk Inggeris.
Isu ini telah membangkitkan kemarahan orang-orang Melayu.Dengan perpaduan yang kukuh di bawah pimpinan Datuk Onn Jaafar terbentuklah UMNO.Gagasan Malayan Union yang dipaksakan itu ditentang habis-habisan, akhirnya penjajah Inggeris mengalah dan Persekutuan Tanah Melayu pun dibentuk pada 1hb. Februari 1948.
Dalam masa pentadbiran Malayan Union kira-kira dua tahun lamanya itu kuasa pentadbiran negeri adalah terletak di tangan seorang pegawai Inggeris yang dipanggil 'Resident Commissioner', pegawai Inggeris yang pertama bernama A.J. Colder.Raja dan Undang yang sebelum perang sebanyak sedikit boleh bersuara dalam Dewan Keadilan dan Undang, tetapi dalam pemerintahan Malayan Union , 'Dewan' ini tidak wujud lagi.
Setelah 'Persekutuan Tanah Melayu' terbentuk pada tahun 1948 itu, maka corak pemerintahan Negeri Sembilan dan lain-lain negeri di Semenanjung turut berubah. Selain dari Pulau Pinang dan Melaka, semua sembilan buah negeri Melayu yang beraja telah melantik ketua-ketua pentadbirnya dengan nama 'Menteri Besar'. Bagaimanapun oleh kerana negeri ini masih lagi dijajah, maka kerajaan Inggeris tetap juga meletakkan seorang pegawai Inggeris yang telah ditukar namanya dari 'British Resident' sebelum perang dan 'Resident Commissioner' dalam masa Malayan Union kepada 'British Adviser' atau Penasihat British'.
Dengan terbentuknya Persekutuan Tanah Melayu ini bermulalah satu babak baru dalam pentadbiran negeri. Kalau sebelumnya Negeri Sembilan belum ada perlembagaan yang bertulis tetapi sebaik-baik sahaja Persekutuan Tanah Melayu terbentuk pentadbiran Negeri Sembilan juga turut menerima perubahan, sebuah perlembagaan yang bertulis telah dikanunkan.
Dengan berkuatkuasanya perlembagaan ini maka terbentuklah sebuah dewan undangan yang dinamakan Majlis Undangan Negeri (State Legislative Council) dengan semua ahlinya dilantik oleh DYMM Yang DiPertuan Besar Negeri Sembilan dengan persetujuan Undang yang Ampat.
Majlis Undangan ini dianggotai seramai 27 orang yang dipengerusikan oleh Menteri Besar.
MAJLIS UNDANGAN NEGERI
Ruang Majlis Undang Negeri yang pertama telah ditempatkan di tingkat atas di hujung Bangunan Setiausaha Kerajaan Negeri yang lama. Di bawah dewan tersebut terletak Mahkamah Tinggi. Persidangan pertama telah diadakan pada tahun 1948. Ahlinya terbahagi kepada dua bahagian, sebahagian dikenal dengan nama 'ahli rasmi' dan sebahagian lagi ' ahli tidak rasmi'.
Ahli rasmi terdiri dari pegawai-pegawai kerajaan yang berjawatan iaitu Menteri Besar, Penasihat British, Setiausaha Kerajaan Penasihat Undang-undang, Pegawai kewangan dan Pegawai Daerah Seremban iaitu daerah yang terkanan.
Manakala ahli tidak rasmi pula adalah ahli-ahli yang dilantik yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang terkenal, biasanya secara tidak lansung ketua-ketua atau pemimpin-pemimpin bangsa, Melayu, Cina, India dan adakalanya ketua-ketua orang-orang Eurasian. Semua perlantikan ini terpulang kepada budibicara Yang DiPertuan dan Undang dengan nasihat dari Penasihat British. (Senarai ahli-ahli yang pertama dilantik setelah Persekutuan Tanah Melayu wujud).
Pengerusi Persidangan dengan sendirinya ialah Menteri Besar. Menteri Besar yang pertama, Datuk A.Malek b. Yusuf dari 1hb., 1948 - 10hb. Ogos, 1950.
PILIHANRAYA PERTAMA 1955
Setelah pilihanraya pertama diadakan pada tahun 1955 kedudukan keanggotaan ahli-ahli Majlis Undangan Negeri ini telah berubah. Dua belas orang dari 24 orang anggota-anggota terdiri dari ahli-ahli yang dipilih oleh rakyat dan 12 orang lagi ahli yang dilantik.
Kali pertama juga dalam sejarah Majlis Undangan Negeri, seorang pengerusi majlis yang dipanggil 'Speaker' telah dilantik dari seorang ahli yang dipilih. Orang yang pertama diangkat menjadi Speaker ialah YB.Cikgu A.Wahab bin Idus, wakil dari kawasan Tampin.
Majlis Undangan yang berbentuk demikian berjalan sehingga pilihanraya 1959. Pilihanraya kali kedua ini - negara telah mencapai kemerdekaan. Dengan berlangsungnya pilihanraya kali yang kedua ini tercatatlah satu lagi lembaran sejarah dan pentadbiran negeri yang amat bererti bagi pejuang-pejuang politik kerana hasil keringat mereka untuk mendapatkan kemerdekaan telah tercapai. Keseluruhan ahli-ahli Dewan Undangan Negeri dipilih oleh rakyat selain dari membebaskan negara dari cengkaman penjajah Inggeris. Kita bersyukur ke hadrat Allah S.W.T. perjuangan merebut kemerdekaan berjalan dengan licin melalui saluran politik dan perlembagaan meskipun tidak sedikit peluh dan air mata yang bercucuran membasahi persada tanahair.
Majlis Undangan Negeri ini kemudiannya ditukar dengan nama Dewan Undangan Negeri. Seramai 24 orang ahli yang dipilih oleh rakyat termasuk Menteri Besarnya sekali. Dr.Mohd Said bin Muhammad, wakil rakyat Linggi, adalah Menteri Besar yang pertama, manakala ahli-ahli Exconya terdiri dari Idris bin Matsil, A.Samad bin Idris, Ariffin bin Ali, Lee Tee Siang, Lim Kee Siong, V. Letchumanan, Setiausaha Kerajaan, Penasihat Undang-undang dan Pegawai Kewangan Negeri turut menganggotai Exco atas nama jawatan 'Ex-officio', pegawai-pegawai ini tidak ada hak mengundi.
Pada tahun 1960, bangunan Dewan Undangan Negeri telah dipindahkan dari tempat lama ke bangunan baru. Bangunan ini adalah bangunan ini adalah bangunan Sungai Ujung Club iaitu sebuah kelab yang khusus ahlinya untuk orang-orang kulit putih saja (keahliannya dibukakan kepada orang-orang bukan kulit putih beberapa tahun selepas perang).
Persetujuan telah dicapai di antara kerajaan negeri dengan ahli-ahli kelab ini agar mereka berpindah kebangunan yang ada sekarang (dulunya Istana Hinggap). Bangunan ini telah diubahsuai selaras dengan sebuah Dewan Undangan Negeri, kerana bangunan ini agak besar dan luas, maka sebahagian darinya dijadikan bangunan Mahkamah Tinggi dan sebahagian lagi dijadikan Pejabat Pertanian Negeri. Bangunan ini telah digunakan selama 26 tahun sehingga bangunan baru yang ada sekarang ini siap untuk digunakan.
Sunday, April 25, 2010
Kisah Raja Raja Melayu Singapura
Agus Salim turut menyesali akan kepesatan pembangunan pulau tersebut telah memusnahkan banyak bahan-bahan bersejarah seperti yang pernah diceritakan oleh Munsyi Abdullah dalam Hikayat Abdullah mengenai terjumpanya sebuah batu bersurat yang mana telah dipecahkan oleh pegawai Inggeris sebelum sempat dibuat kajian ke atasnya.
Agus Salim telah memetik kembali Sejarah Melayu dan menyusun dengan fokus kepada raja-raja yang pernah memerintah Singapura. Raja-raja tersebut ialah:
1) Sang Nila Utama (memerintah 1299-1347 M)
- Anak kepada Sang Sapurba dan Wan Sendari, anak Demang Lebar Daun (berkaitan dengan peristiwa kedal).
- Sebelum dikahwinkan, kedua-dua pihak, Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba telah membuat waadat, seperti akujanji, bahawa satu pihak tidak akan merendah-rendahkan anak cucunya manakala satu pihak akan terus setia dan tidak menderhaka.
- Sang Nila Utama berkahwin dengan Wan Seri Bani, puteri Raja Bentan.
- Sang Nila Utama membuka Singapura dan berminat menubuhkan kerajaan di situ selepas terpegun dengan keajaiban seekor binatang yang digelar 'singa' oleh pengikutnya.
2) Raja Kecil Besar @ Paduka Seri Pikrama Wira (1347-1362 M)
- mengangkat adindanya sebagai bendahara bergelar Tun Parapateh Permuka Berjajar.
- Setelah berasa terhina dengan satu bingkisan daripada raja Majapahit berisi tatal yang digulung seperti subang, raja kedua Singapura ini telah memerintahkan seorang pawang yang mahir menarah rambut budak yang menangis dengan beliung. Beliung itu dipulangkan untuk dipersembahkan kepada raja Majapahit.
- Terhina dengan tindakan itu, Majapahit menyerang Singapura. Namun, Singapura tetap dapat bertahan dan Majapahit pun alah lalu berundur.
3) Raja Muda @ Seri Rana Wira Kerma (1362-1375 M)
- Bendahara: Tun Parapateh Tulus
- Badang yang terkenal menjadi gagah kerana memakan muntah hantu, hidup di zaman pemerintahan raja ini.
- Badang dicabar oleh Benderang, pahlawan Perlak.
4) Dasia Raja @ Paduka Seri Maharaja (1375-1388 M)
- Inilah raja yang membunuh ulama terkenal, Tun Jana Khatib. Alim itu dituduh menunjuk-nunjuk kepandaiannya di hadapan permaisuri baginda.
- Susulan daripada peristiwa tersebut, todak telah menyerang Singapura.
- Kedangkalan idea raja yang menyuruh rakyat menahan betis diperkecilkan oleh seorang budak yang mencadangkan penggunaan batang pisang untuk menewaskan serangan todak.
- Budak yang tunjuk pandai itu kemudiannya turut dibunuh oleh Dasia Raja selepas dihasut oleh pembesar lain.
- Siri keganasan raja itu mula melanggar waadat antara Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun.
5) Raja Iskandar Shah (1388- 1391 M)
- Inilah raja yang sanggup menyula isteri (gundik?) sendiri, iaitu anak kepada Sang Rajuna Tapa.
- Akibat perbuatan itu, Sang Rajuna Tapa menulis surat kepada Raja Majapahit, memaklumkan beliau sanggup membuka pintu kota Singapura untuk diserang Majapahit.
- Sang Rajuna Tapa menjadi batu kerana melanggar waadat.
- Singapura kalah perang, Raja Iskandar Shah berundur ke Muar dan beberapa tempat spt Biawak Busuk & Kota Buruk, sebelum akhirnya membuka sebuah negeri yang digelar sebagai Melaka.
Tahun-tahun pemerintahan raja-raja Singapura ini dipetik Agus Salim daripada kajian Dr. W. Linehan, 1947, The King of 14th Century Singapore, JMBRAS 20(2).
Sumber : ulasbuku.blogspot.com
Kuala Perlis : Bandar Maritim
Kuala Perlis juga mempunyai infrastruktur yang diperlukan termasuk terminal feri dan pusat pendaratan ikan terbesar di negara ini, titah baginda semasa merasmikan program Jiwa Murni Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) bersama rakyat di Sekolah Kebangsaan Seberang Ramai di sini hari ini.
Baginda bertitah Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia (LKIM) juga telah mengemukakan cadangan kepada kerajaan negeri untuk membina jeti perikanan baru yang terbesar di Malaysia di Kuala Perlis.
Kuala Perlis juga berpotensi dalam industri pembinaan kapal bagi pasaran tempatan dan antarabangsa dengan adanya Perlis Marine Engineering Sdn. Bhd., yang merupakan anak syarikat Perbadanan Ekonomi Negeri Perlis (PKENPs) yang beroperasi di pinggir Sungai Perlis, titah baginda.
Sementara itu, Ketua Pengarah APMM, Datuk Mohd. Amdan Kurish dalam ucapannya berkata, agensi itu akan membina sebuah pangkalan di Kuala Perlis bagi memperkukuhkan operasi penguatkuasaannya. Langkah itu, katanya sejajar dengan tanggungjawab APMM sebagai agensi tunggal bagi penguatkuasaan undang-undang di laut menjelang Ogos tahun depan. – Bernama
Sumber : www.utusan.com.my
Maharaja Terakhir Punjab
Baginda anak bongsu legenda "Lion of the Punjab" (Maharaja Ranjit Singh) dan "Messalina of the Punjab" (Maharani Jind Kaur), dan memerintah setelah beberapa peristiwa yang penuh tipu muslihat, di mana mereka yang dikatakan berhak kepada takhta dan berlian Koh-i-Noor saling berbunuhan sesama mereka.
Setelah dibawa ke Britain pada usia 12 tahun kerana pihak British mengambil alih Punjab, baginda bersahabat dengan Queen Victoria. Dalam bulan Jun 1850, Lord Dalhousie menyerahkan Berlian Kohinoor kepada Queen Victoria. Dari tarikh itu, berlian tersebut menjadi sebahagian daripada Crown Jewels (diletak di Mahkota Queen Elizabeth) dan dipamerkan di Jewel House yang terletak di Tower of London.
Dalip Singh mendapat pujian Queen Victoria yang dikatakan pernah menulis, "Mata dan gigi baginda tersangat cantik..." tentang Maharajah Punjabi itu. Pada hari ini, Dalip Singh dianggap sebagai orang Sikh pertama yang tinggal di Britain setelah dibuang negeri pada 1854 dan negerinya diambil alih oleh British Raj pada 1849.
(Perhatikan pakaian Dalip yang seperti baju Melayu dengan sampin....?)
Friday, April 23, 2010
Patuhi kuasa raja-raja Melayu
Baginda bertitah, malah kuasa raja-raja Melayu dalam urusan agama Islam dan adat Melayu tidak pernah diserahkan kepada mana-mana pihak lain termasuk ketika di bawah pengaruh pentadbiran British dan penjajahan Jepun. Titah baginda, selepas negara mencapai kemerdekaan, urusan agama Islam dan adat Melayu kekal di bawah bidang kuasa raja pemerintah di negeri masing-masing dan prinsip ini hendaklah terus dihormati.
"Sempadan pembahagian kuasa tersebut hendaklah sentiasa dipatuhi dan kedudukan Raja-Raja Melayu hendaklah senantiasa dimuliakan. "Pandangan dan pendirian raja-raja Melayu perlu terlebih dahulu dirujuk dalam apa juga perkara berkaitan agama Islam dan adat Melayu sebelum sesuatu fatwa, dasar, arahan pentadbiran atau penubuhan sebarang institusi diputuskan atau diumumkan.
"Jika prinsip asas ini mula diketepikan, adalah dibimbangkan ia berpotensi menjadi pencetus kepada salah faham, kekeliruan dan pergeseran di antara pelbagai pihak yang bertanggung jawab," titahnya.
Baginda bertitah pada Persidangan ke-171, Majlis Agama Islam dan Adat Melayu Perak (MAIPk) di Dewan Persidangan Kompleks Islam Darul Ridzuan di sini hari ini. Hadir sama Menteri Besar, Datuk Seri Dr. Zambry Abd. Kadir, Setiausaha Kerajaan Negeri, Datuk Seri Dr. Abdul Rahman Hashim dan Mufti negeri, Tan Sri Harussani Zakaria.
Justeru, Raja Nazrin bertitah, raja-raja Melayu wajib dilibatkan di peringkat awal sebelum sesuatu perkara menyentuh agama Islam dan adat Melayu hendak dilakukan. "Janganlah pandangan raja-raja Melayu itu hanya dirujuk dan dipohonkan restu sokongan apabila masalah dan polemik telah berlaku," titah baginda.
Dalam pada itu, baginda bertitah, mesyuarat MAIPk adalah forum penting untuk membincang apa jua isu dan cadangan untuk kebaikan Islam dan umat Islam di negeri ini selain memperkenalkan usaha berterusan bagi memberikan gambaran bahawa Islam agama yang progresif lagi dinamik.
Titah baginda, Islam yang berjaya dihayati di peringkat pengetahuan dan berjaya diterapkan secara berkesan di peringkat pelaksanaan berperanan penting untuk mencerminkan budaya urus tadbir, budaya kerja dan budaya pemerintahan yang adil, saksama, telus lagi cekap.
Raja Nazrin bertitah, ia sehingga dapat membangunkan satu persekitaran politik dan persekitaran ekonomi yang boleh dijadikan rujukan oleh masyarakat dunia. "Malangnya pada hari ini Islam dijadikan rujukan kepada isu kemunduran, kelemahan, kegagalan dan kemiskinan," titah baginda. Baginda bertitah, Islam dikaitkan dengan amalan ekstremisme dan keganasan sementara pemimpin bagi organisasi-organisasi Islam lebih cenderung memilih untuk bertelagah dan bercanggah.
Malah titah baginda, ada yang lebih menumpu kepada suara-suara berunsur perbezaan dari persamaan, lebih cenderung untuk mendapat dan mempertahankan kuasa dari menguruskan kuasa yang telah dianugerahi Ilahi secara bijaksana, berhemah dan berkesan.
Oleh Ani Awang / pengarang@utusan.com.my
Monday, April 19, 2010
KESULTANAN MELAYU BERMULA 1278?
Following the discovery, the research committee, chaired by Malacca Islamic University College vice-chancellor Prof Emeritus Datuk Wira Dr Mohd Yusoff Hashim, agreed that Malacca began as a political entity, known as the Malacca Malay Sultanate, in 1278.
He said the findings of the research was tabled to the Yang Dipertua Negeri of Malacca Tun Mohd Khalil Yaakob at his office in Ayer Keroh here yesterday. The research, headed by Prof Dr Abdullah Zakaria Ghazali from the Department of History, Universiti Malaya, started in June last year. Ali said a seminar would be held this year to further discuss the matter. - Bernama
Sumber : New Sunday Times, April 18
Pertabalan Raja Toro (termuda di dunia)
The accession of King Oyo to his father's throne marked the beginning of a challenging and exciting period for the people of Toro. At the infant age of three-and-one half years old (in 1995), King Oyo of Toro earned a place in the Guinness Book of World Records as the youngest reigning monarch. Being a minor, King Oyo was aptly placed under the guardianship of several capable individuals, to ensure his smooth maturation into his role as cultural leader of his people.
Among his guardians are H.E. Yoweri Museveni, President of Uganda; Prince James Mugenyi, his paternal uncle, Princess Elizabeth N. Bagaaya, his paternal aunt and Godmother; and the other kings. King Oyo's kingdom, still suffering the devastation of 26 years of nonexistence and desecration, is in dire need of total reconstruction in all cultural, economic and human aspects. An ambitious development plan is in effect, encompassing several major development and restoration projects.
Saturday, April 17, 2010
Friday, April 16, 2010
Model Ekonomi Baru - boleh capai tapi sukar?
MEB: Sukar dicapai
|
|
Pengarah Eksekutif Institut Penyelidikan Ekonomi Malaysia (MIER), Dr. Zakariah Abdul Rashid berkata, kegagalan berbuat demikian akan menjadikan sasaran untuk meraih pendapatan AS$15,000 hingga AS$20,000 sukar dicapai.
''Ini merupakan satu cabaran besar kepada negara untuk mencapai status negara maju dan negara berpendapatan tinggi mengikut MEB.
''Malaysia perlu mencapai pertumbuhan enam peratus dari sekarang sehingga 2020,'' katanya pada taklimat Ekonomi Korporat di sini pada hari ini.
Menurutnya, untuk mencapai pertumbuhan tersebut, aliran kemasukan pelaburan asing dan swasta perlu kukuh.
Pada taklimat itu, beliau berkata, MIER telah menyemak semula unjuran Keluaran Dalam Negara Kasar (KDNK) kepada 5.2 peratus bagi tahun ini berbanding 3.7 peratus sebelum ini.
Dr. Zakariah menambah, peningkatan itu disebabkan pemulihan dalam keyakinan pengguna dan perdagangan serta kenaikan dalam harga komoditi.
Ekonomi negara diramal mencatatkan pertumbuhan sebanyak 5.0 peratus pada 2011, menurut beliau,
''Pemulihan ekonomi kali ini lebih luas dengan semua sektor ekonomi merekodkan pertumbuhan kukuh,'' jelasnya.
Keyakinan perniagaan dan pengguna yang diukur oleh Indeks Sentimen Pengguna MIER dan Indeks Persekitaran Perniagaan, masing-masing melonjak 4.6 mata dan 5.2 mata pada suku pertama 2010.
Kadar pengangguran juga susut daripada 4.0 peratus pada suku pertama 2009 kepada 3.5 peratus pada suku keempat 2009.
Petunjuk lain dalam perbelanjaan swasta ialah jualan kereta yang naik kepada 7.5 peratus pada bulan Februari lalu.
''Dengan petunjuk-petunjuk ini, MIER menjangka perbelanjaan swasta berkembang sebanyak 5.6 peratus pada 2010 dan 6.8 peratus pada tahun depan,'' tambahnya.
(2010) AINUL ASNIERA AHSAN
Utusan
Thursday, April 15, 2010
Hangat: Utusan Malaysia dan blogger Rajamenangis
ARKIB : 25/03/2010
Sebab, akibat 'penggodaman' Melayu
Malay Bashing menggodam Melayu
Berselindung atau berterus terang -- Antara puncanya 'ultra kiasu' -- Sekarang ditambah oleh 'si Tenggang'.
Peruntukan-peruntukan dalam Perlembagaan negara yang dianggap 'memihak' kepada Melayu (dari segi politik, budaya dan undang- undang) cuba diputarbelitkan melalui pelbagai takrif dan hujah. Atau dengan sengaja dihalang-halang pelaksanaan dan penguatkuasaannya dengan pelbagai cara. Malah Perlembagaan itu sendiri cuba hendak diinterpretasikan tanpa mengambil kira roh dan semangat serta konteks sosial dan budayanya.
Dan lebih buruk lagi, saya terbaca dalam satu halaman web, ada penulis yang begitu lancang menyifatkan (menuduh) Perlembagaan itu sebagai racist.
Hak-hak dan kedudukan bangsa Melayu yang selama ini diiktiraf dan dihormati semakin dipertikaikan dengan berbagai-bagai cara. Bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa rasmi secara halus dan beransur-ansur mengalami proses peminggiran sama ada dalam sistem pendidikan begitu juga dalam bidang komunikasi awam dan swasta. Malah terdapat anggota-anggota dewan legistlatif (Parlimen dan Dewan-Dewan Undangan Negeri) yang tidak fasih berbahasa Melayu.
Institusi-institusi tradisi yang selama ini menjadi lambang kekuatan Melayu disindir secara halus. Malah pernah diperlakukan secara kasar. Institusi-institusi pemerintahan yang pimpinan dan pengurusan utamanya dikendalikan oleh tokoh-tokoh Melayu diserang secara terang-terang atau secara berselindung.
Demikian juga akhbar-akhbar atau saluran komunikasi massa yang membela Melayu, terutama Utusan Malaysia dituduh sebagai racist. Malah bidang akidah dan sistem ibadah bangsa Melayu mula ada yang hendak campur tangan untuk menambah lagi kecelaruan masyarakat Melayu.
Berlatar belakangkan semuanya itulah, seorang peguam muda (setengah umur?) mencetuskan satu perbincangan atau sesi diskusi di bawah tajuk "Malay Bashing/Penggodaman Melayu dari Perspektif Undang-undang dan Sejarah."
Namanya Shaharudin Ali (Kumpulan Rajamenangis) dan sekarang sedang melanjutkan pelajaran peringkat kedoktoran bidang undang-undang di Universiti Malaya sambil menjadi Adjunct Professor di Universiti Multi Media (MMU).
Sebelum ini beliau pernah menjadi Ketua Pegawai Eksekutif Institut Terjemahan Negara Malaysia (ITNM). Satu pengalaman pekerjaan yang semakin 'membuka mata' dan meningkatkan keprihatinannya terhadap nasib Melayu ialah semasa Shaharudin memegang jawatan sebagai Ketua Pegawai Eksekutif Sekretariat Majlis Peguam Malaysia.
Dalam majlis Percambahan Fikiran Tentang Isu-isu Melayu (PFTIM) di Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya itu beliau menyatakan fenomena "penggodaman Melayu" ini bukanlah isu baru. Perkara itu telah berlaku sebelum dan semasa penjajahan Barat. Serangan atau godaman orang asing itu dari dalam dan luar negara berterusan hingga zaman merdeka dan semakin menjadi-jadi secara terang-terang atau bersembunyi semasa pelaksanaan Dasar Ekonomi Baru (DEB).
Setelah DEB selesai dan alaf 21 bermula, penggodaman itu menemui dua ciri baru. Pertama, antara yang menggodam itu, di samping orang bukan Melayu, sekarang telah termasuk pula orang Melayu sendiri yang sebahagian besarnya menerima rezeki (mengalami kemajuan mobiliti sosial) daripada DEB. Ciri yang kedua, proses penggodaman itu sekarang menemui satu alat (senjata) baru, iaitu internet.
Dua ciri baru ini, tegas Shaharudin menyebabkan usaha-usaha menangkis penggodaman itu menjadi lebih sulit. Dan keadaan menjadi bertambah rumit bila ada pemimpin Melayu sendiri yang memberi bola tanggung kepada orang bukan Melayu untuk semakin berleluasa menggodam Melayu.
Berdasarkan pengalamannya memegang beberapa jawatan strategik serta ketajaman pemerhatiannya sebagai seorang yang terlatih di bidang undang-undang, Shaharudin telah menyenaraikan secara rambang 20 isu yang digunakan untuk menyerang Melayu.
Dalam senarai tersebut termasuklah petisyen Hindraf, penipuan sijil Halal, tuduhan racist terhadap Biro Tata Negara, penggunaan bahasa-bahasa lain selain bahasa kebangsaan pada papan tanda jalan, pelonggaran undang- undang murtad dan penggunaan kalimah Allah oleh bukan Islam.
Beliau juga telah mengenal pasti cara dan kaedah penggodaman tersebut. Ini termasuklah kaedah secara langsung dan secara tidak langsung, menggunakan hujah-hujah undang- undang dan hak asasi manusia sejagat, mengadu dombakan orang Melayu dan memanipulasikan atau menyalah gunakan proses dan prosedur yang sah, memancing orang Melayu untuk berdebat tentang isu-isu yang remeh dan bertelingkah tentang istilah dan semantik.
Kenapakah kecenderungan menggodam Melayu itu semakin berleluasa sejak akhir-akhir ini? Sebab yang utama kerana orang lain melihat bangsa Melayu kini berada dalam keadaan yang lemah dan sedang berpecah belah. Orang bukan Melayu seakan-akan mendapat kekuatan baru setelah pilihan raya umum ke-12 yang lalu.
Bila Shaharudin berkali-kali membuat rujukan terhadap Perlembagaan Persekutuan (termasuk proses penggubalannya dan peruntukan-peruntukan tertentu di dalamnya), maka terserlah pula satu sebab yang lain.
Pengetahuan yang sangat cetek tentang sejarah bangsa dan Perlembagaan negara telah menyebabkan ramai orang yang 'kehilangan punca', baik orang Melayu mahu pun bukan Melayu. Semua itu bukan sahaja akan semakin berleluasanya kecenderungan menggodam Melayu malah akan bertambah sukarnya membentuk sebuah "negara bangsa", sebuah masyarakat Malaysia yang bersatu padu.
Oleh kerana itu, antara penyelesaian yang patut diberi keutamaan ialah memperkasa pengajaran dan pembelajaran sejarah asal usul negara ini serta dipertingkatkannya pengetahuan, pemahaman dan penghayatan Perlembagaan Negara.
(C) 2010 Utusan Malaysia
Definasi FATWA
Dari Segi Bahasa
Keputusan/ penjelasan/ jawapan terhadap sesuatu perkara yang dimusykilkan.
Dari Segi Istilah
Memberikan penjelasan Hukum Syarak bagi sesuatu masalah sebagai jawapan kepada sesiapa yang bertanya, baik secara individu mahupun secara berjemaah.
PIHAK YANG MENGELUARKAN FATWA
Bagi menyelaraskan pengeluaran fatwa di negara ini maka pihak yang dipertanggungjawabkan mengeluarkan fatwa ialah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia. Fatwa-fatwa yang akan dikeluarkan adalah menyentuh kepada perkara-perkara:
i. Masalah-masalah keagamaan yang bukan bersifat tempatan tetapi berkaitan dengan hal ehwal umat Islam Malaysia secara keseluruhannya;
ii. Masalah-masalah keagamaan di sesuatu negeri yang mungkin berlaku di negeri lain;
iii. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat tempatan dan daerah yang dikemukakan oleh mana-mana Ahli Jawatankuasa Negeri.
STATUS FATWA KEBANGSAAN
Sesuatu fatwa yang dikeluarkan di peringkat kebangsaan merupakan keputusan bersama sesama Mufti dari setiap negeri. Perbincangan tersebut akan diadakan pada peringkat Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan. Keputusan yang dibuat sebenarnya tidak mengikat kerajaan-kerajaan negeri, tetapi sebaliknya ia hanya boleh dikuatkuasakan di peringkat negeri jika negeri berkenaan mengambil tindakan atau menerima pakai fatwa tersebut menerusi keputusan mesyuarat Jawatankuasa Fatwa Negeri masing-masing. Oleh itu, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan hanya merupakan majlis diskusi bagi menentukan sesuatu keputusan itu melibatkan kepentingan seluruh persekutuan.
PERUNTUKAN MENGENAI FATWA DALAM UNDANG-UNDANG
Di dalam Akta Pentadbiran Undang-Undang Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1993 [Akta 505], peruntukan mengenai fatwa dijelaskan di bawah Seksyen 34 iaitu:
i. Maksud Fatwa iaitu pendapat atas apa-apa persoalan yang belum diselesaikan atau yang menimbulkan pertikaian mengenai atau berhubung dengan Hukum Syarak;
ii. Mengenai bila sesuatu fatwa itu boleh dibuat, iaitu apabila diperintahkan oleh Yang di-Pertuan Agong, atau atas permintaan orang ramai melalui surat yang dihantar kepada Mufti, atau dibuat atas kehendak Mufti itu sendiri;
iii. Sesuatu pernyataan yang dibuat oleh Mufti hanya boleh diambil sebagai fatwa jika pernyataan itu disiarkan dalam warta berhubung dengan Hukum Syarak;
iv. Sesuatu fatwa yang telah disiarkan dalam warta hendaklah dipatuhi oleh semua umat Islam yang berada di negeri itu, kecuali amalan peribadi yang dibenarkan mengikut Hukum Syarak; dan
v. Fatwa yang diwartakan merupakan sebahagian daripada undang-undang yang perlu diikuti oleh semua Mahkamah Syariah bagi negeri itu.
Jawatankuasa Khas Antara Kaum
Jamil Khir berkata, jawatankuasa khas itu tidak boleh membincangkan isu mengenai agama Islam termasuk membabitkan peruntukan dalam Perlembagaan Persekutuan dan undang-undang. Katanya, ini kerana keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa pada 2005 sudah memutuskan agar badan seumpama itu tidak boleh ditubuhkan.
“Bagaimanapun apa yang hendak ditubuhkan itu ialah jawatankuasa mempromosikan (keharmonian) tetapi saya rasa ada laporan tidak tepat yang menyebut tentang ‘antara agama.’ Mufti amat mengalu-alukan dialog dan perbincangan persefahaman tetapi untuk tidak mengelirukan orang ramai dan hala tuju perbincangan, maka dicadangkan perkataan antara agama ditukar.
“Cadangan yang dikemukakan oleh para mufti ini akan dibawa kepada Kabinet untuk diputuskan,” katanya kepada pemberita di Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) di sini hari ini. Beliau turut memberi taklimat kepada mufti mengenai isu tersebut. Semalam, Timbalan Perdana Menteri, Tan Sri Muhyiddin Yassin mengarahkan Jamil Khir memberikan taklimat kepada para mufti mengenai jawatankuasa tersebut.
Pada 6 April lalu, Menteri di Jabatan Perdana Menteri, Tan Sri Dr. Koh Tsu Koon mengesahkan bekas Ahli Parlimen Kota Bharu, Datuk Ilani Isahak dilantik sebagai Pegawai Penyelaras Khas bagi jawatankuasa khas berhubung isu antara agama dalam negara.
Jawatankuasa khas itu dianggotai oleh perwakilan daripada Jakim, Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), Majlis Perundingan Agama Buddha, Kristian, Hindu dan Sikh Malaysia (MCCBCHST) dan pertubuhan badan bukan kerajaan (NGO).
Bagaimanapun penubuhan jawatankuasa khas itu dibantah sebulat suara oleh Jawatankuasa Fatwa Perak dan Mufti Johor, Datuk Mohd. Tahrir Shamsuddin. Sebelum ini, Pertubuhan Pribumi Perkasa Malaysia (Perkasa) turut mencadangkan agar jawatankuasa itu diubah namanya kepada jawatankuasa perhubungan antara kaum.
Jamil Khir menjelaskan, jawatankuasa khas itu boleh membincangkan apa saja isu semasa asalkan ia tidak menyentuh soal agama yang terletak di bawah bidang kuasa raja-raja. “Soal Perlembagaan sudah jelas tidak boleh kacau, apa yang termaktub berkaitan eksekutif dan undang-undang tidak boleh kacau,” katanya.
Sebaliknya, kata beliau, mereka boleh memanfaatkan jawatankuasa khas itu bagi membincangkan isu seperti masalah pembuangan bayi atau penyalahgunaan dadah mengikut perspektif agama masing-masing. “Ia hanya untuk hal-hal yang bertujuan mempromosikan kesefahaman dan perpaduan, maknanya kalau dalam Islam tidak setuju kepada dadah, maka begitu juga dalam agama lain macam mana, kita bincanglah. Jadi hal-hal tersebut mempunyai ruang lingkup begitu besar yang perlu kita bincang bersama,” katanya.
Ditanya adakah jawatankuasa itu boleh membincangkan isu ‘orang tidak faham tentang Islam’ beliau berkata: ‘‘Ya, untuk kita maklumkan apa dia itu Islam.”
Sumber : www.utusan.com.my