Di Museum Nasional Jakarta, ada dua mahkota yang menjadi simbol kebanggaan bangsa Indonesia iaitu ketopong (mahkota) Sultan Kutai Kartanegara dan mahkota Sultan Siak (Riau). Ia merupakan contoh mahkota asli terbaik di Indonesia yang sesuai dengan persepsi masyarakat internasional, sehingga keduanya menjadi simbol kebanggaan yang baik dari kekayaan dan keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.
Ketua Pusat Dokumentasi Kerajaan-Kerajaan di Indonesia (PUSAKA) Donald P Tick menjelaskan, "Mahkota bukanlah simbol kekuasaan raja seperti halnya keris pusaka. Ia cuma merupakan salah satu simbol dari kerajaan, karena tidak banyak kerajaan di nusantara yang mengenal penggunaan mahkota. Tidak banyak mahkota di Indonesia yang digunakan oleh para raja. Ada mahkota yang dianggap keramat misalnya mahkota Sultan Ternate dan Sultan Tidore (Maluku Utara) serta mahkota raja atau Somba Gowa (Sulawesi Selatan). Mahkota-mahkota tersebut tidak diambil dari pusat ritual mereka, namun tetap disimpan di istana/keraton lama."
Selama pendudukan Belanda, hanya mahkota Somba Gowa berikut keris kerajaan yang sempat diambil Belanda namun dikembalikan semula pada 1936 (kerajaan itu memerintah semula). "Para raja/sultan yang menggunakan mahkota atau ikat kepala yang menyerupai mahkota adalah Raja Sikka (Flores Timur, NTT) Sultan Bima (Sumbawa Timur - NTB), Sultan Sumbawa (Sumbawa Barat - NTB), Raja Gorontalo (Sulawesi Utara), Sultan Pontianak serta Sultan Bulungan," kata beliau lagi.
Beliau bercerita tentang mahkota Sultan Bulungan yang sempat lama berada di Sabah (Malaysia). Mahkota tersebut dibawa putra Sultan Bulungan terakhir sekitar 1964. Atas desakan Bupati Bulungan, mahkota tersebut akhirnya kembali ke tanah Bulungan. Ia dipamerkan pada Festival Keraton Nusantara III tahun 2002 di Tenggarong. Mahkota tersebut kini dimiliki kerabat Kesultanan Bulungan yang ingin menghidupkan kembali salah satu kerajaan terbesar di Kalimantan Timur.
Namun demikian, ada pula beberapa mahkota yang dikabarkan hilang setelah Perang Dunia II seperti mahkota milik Raja Nageh-Keo (Flores Tengah, NTT), Raja Soya (Ambon), Raja Amanatun (Timor Tengah Selatan/NTT), Raja Karangasem (Bali) dan Raja Lombok (NTB). Pada tahun ini Pepin Press Singapore/Amsterdam akan menerbitkan sebuah buku karya Rene Brus mengenai mahkota, benda pusaka dan perhiasan kerajaan di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, termasuk dari Kesultanan Kutai Kartanegara Martadipura.
Petikan : www.kutaikartanegara.com
salam...
ReplyDeletebetapa hebatnya penjajah belanda memusnahkan institusi raja-raja di indonesia raya sehinggakan sekarang ini manusia sudah tidak tahu pengertian mahkota dan raja.
kejayaan penjajah belanda yang paling besar adalah apabila titisan raja majapahit yang sejati dapat dipadamkan dalam pemikiran rakyatnya kerana penjajah belanda tahu titisan raja tersebutlah yang menjadi tungkak raja-raja di alam nusantara.
Kita di Malaysia tetap bersyukur kepada AllahuYaRobbi kerana negara kita walaupun kecil masih mengekalkan 9 raja yang bergelar Sultan/DiPertuan.
mereka yang bukan dari titisan yang sebenar akan tetap mengatakan yang macam-macam dan yang paling sinonim mereka akan mengatakan mahkota adalah bukan lambang kekuasaan raja.
dabong
Salam..
ReplyDeletekalau raja tanpa mahkota,apalah maknanya....,
Sejarah dulu membuktikan, para raja mesti ada mahkotanya..dan mempunyai spiritual yg tertentu..
Siput sedut..
Lembah Kelang
salam.
ReplyDeletePada umumnya mungkin mahkota tersebut diserahkan oleh Pemegang amanah Raja-raja kepada Kepimpinan Bongkarno sebagai tanda persetujuan atas pergabungan RI tetapi apakah cerita yang sebenarnya....yang menjadi tugas kepada Bongkarno yang tidak selesai sehingga hari kewafatannya?...
Adakah amanah itu berkubur seperti jasad yang dikuburkan tanpa jawapan dan kesudahan..
sehinggakan manusia sekarang ini mengatakan mahkota hanya sibol mainan dan tafsiran yang bermacam-macam.
Demak